Mistisisme dalam Dunia yang
Termediasi
Kesementaraan dan
Keabadian
dalam Puisi-puisi Alfiyan Harfi
Puisi-puisi
Alfiyan Harfi dalam kumpulan ini penuh dengan metafora yang
mengejutkan, yang mengimplikasikan ketegangan-ketegangan yang ada
dalam hubungan antar manusia maupun antara manusia sebagai mahluk
yang fana dengan kau sebagai Yang Abadi. Secara keseluruhan, puisi
ini bercerita tentang menyatunya yang imanen dan yang transenden
sehingga bisa dikatakan bahwa puisi ini bertemakan mistisisme.
Kejutan
metaforis dan implikasi mistis itu pertama-tama dapat dilihat dari
kecenderungan Alfiyan untuk membandingkan dua hal yang tampaknya
tidak bisa dibandingkan, dan kadang-kadang juga menjajarkan dua hal
yang tampaknya tidak bisa dijajarkan. Sebagai contoh, dapat dilihat
bait pertama dari puisi “Kepada Yang Tersembunyi” di bawah ini.
aku
melihat sungai
mengalir
di wajahmu
udara
adalah kulitmu
dan
matamu kulihat
pada
segala yang kulihat
serupa
cermin yang murni
Baris
pertama dan kedua dari kutipan di atas sebenarnya mengandung
perbandingan yang metaforis. Hanya saja perbandingan itu tidak bisa
langsung terlihat. Yang tampak hanyalah penjajaran dua hal yang
seakan tidak berhubungan, yaitu antara sungai dan wajah. Keduanya
tidak bisa dibandingkan karena sama sekali tidak ada persamaan antara
keduanya. Perbandingan itu hanya bisa kita lihat melalui apa yang
diimplikasikannya. Karena sungai mengalir di alam, maka wajah itu
sebanding dengan alam. Dengan kata lain, metafora yang diperlihatkan
oleh baris satu dan dua di atas merupakan metafora yang berlapis,
yang bisa disejajarkan dengan apa yang dalam kebudayaan Jawa disebut
sebagai wangsalan..
Perumpamaan
seperti ini hampir konsisten terdapat dalam puisi-puisi Alfiyan
Harfi. Puisi-puisinya itu menggambarkan adanya lapis-lapis media
untuk bisa sampai kepada apa yang sebenarnya (the
truth).
Kenyataan adanya lapis-lapis media itu berlaku juga pada isi yang
diungkapkan oleh metafora-metafora di atas.
Jika
kita melihat judul puisi pertama kumpulan puisi ini, maka Alfiyan
hendak berbicara tentang kau
yang
tersembunyi, yang tidak bisa ia lihat. Alfiyan tidak dapat langsung
berhubungan dengan kau. Dia hanya bisa melihat, mendengar, dan
merasakan keberadaan kau melalui berbagai macam mediasi. Ia melihat
kau melalui sungai, udara, bunga, peristiwa, mimpi dan segala hal
yang dapat ia lihat. Media itu dia sebut sebagai “cermin murni”,
yang artinya bening, yang menggambarkan secara penuh dan sempurna
diri kau. Dengan kata lain, di satu pihak kau tidak terlihat, di lain
pihak, kau menampakkan diri melalui berbagai mediasi.
Pertentangan
antara kau yang tidak menampakkan diri dengan media yang memungkinkan
penampakannya itu sejajar dengan pertentangan keabadian dan kefanaan
seperti yang terlihat pada bait kedua di bawah ini.
sekali
kau berkata padaku
lewat
bunga yang mekar
serupa
merah bibirmu
serupa
keabadian
yang
jatuh ke dalam waktu
Keabadian
dalam baris keempat di atas sejajar dengan kau yang berkata-kata,
sedangkan waktu sejajar dengan media yang memungkinkan kehadiran kau
di hadapan aku. Artinya, puisi ini menangkap keabadian dengan mediasi
waktu.
Bait
berikutnya memperlihatkan kesejajaran pula antara yang dimediasi dan
mediasi di atas dengan peristiwa yang belum terjadi dan yang sudah
terjadi, dengan masa depan dan masa lalu.
engkau
adalah peristiwa
yang
runtuh di masa lalu
engkau
adalah masa depan
yang
menyusup
ke
dalam mimpi sadar
Yang
belum terjadi dan masa depan adalah yang belum terlihat, atau bahkan
tidak terlihat sama sekali seperti halnya juga kau dan keabadian itu,
sedangkan yang sudah terjadi dan masa lalu sejajar dengan alam dan
media atau segala yang mencerminkan keberadaan kau.
Kesemuanya
itu menunjukkan bahwa kehadiran kau di hadapan aku sekaligus bersifat
nyata dan tidak nyata sehingga si aku merasa mengalaminya di antara
mimpi dan sadar. Bila media itu bening, merupakan cermin murni, maka
kehadiran kau bisa dikatakan nyata, utuh tanpa perantara, seolah-olah
aku dan kau menjadi sangat dekat. Namun, bait terakhir menunjukkan
kau dan aku masih berjarak dan tidak saling melihat sebagaimana
terimplikasikan dari kata melewatimu.
dan
di mana aku melangkah
melewati
hamparan pasir
yang
melayang di angkasa
aku
pergi melewatimu:
Istilah
melewati
bisa
diartikan terlewatkan, yang implikasinya aku tidak melihat kau. Ada
dua kemungkinan faktor yang menyebabkan keberjarakan itu. Pertama,
kehadiran kau bagaimanapun tetap melewati media, walau media itu
disebut murni atau bening. Baik bening ataupun murni, media tetaplah
media, cermin tetaplah cermin. Kehadiran kau hanya bisa melaluinya.
Keberadaan media tidak bisa dihapuskan. Dalam kemungkinan ini,
kemutlakan keberadaan media itu sejajar dengan kecenderungan
melingkarnya metafor yang digunakan. Untuk mencari apa yang
dimaksudkan orang harus menempuh jalan melingkar, melalui
berlapis-lapis media. Dalam kondisi seperti itu, pertemuan langsung
antara aku dengan kau memang tidak mungkin terjadi.
Kedua,
keberjarakan itu terjadi akibat si aku terbang ke langit, yang
menunjukkan bahwa dia ingin menghapus jarak yang memisahkan dirinya
dengan kau. Tindakan itu bertentangan dengan imanennya si kau di
dalam alam, yang mengimplikasikan tidak adanya jarak antara kau dan
aku. Kalau antara kau dan aku tidak ada jarak, si aku tidak perlu
mencarinya di angkasa. Pencarian itu justru mengingkari ketiadaan
jarak atau imanensi dari kau di dalam alam seperti yang sudah
dikemukakan di awal pembahasan.
Kedua
kemungkinan faktor di atas yang menutup kemungkinan terjadinya
persatuan langsung antara aku dan kau, antara kesementaraan dan
keabadian, merupakan hal yang niscaya bagi kehidupan yang sudah
begitu termediasi. Dalam hal ini, sadar atau tidak sadar, Alfiyan
Harfi sudah memperlihatkan kepekaannya terhadap kecenderungan dunia
masa kini dan mengungkapkannya dalam bentuk yang sesuai dengan
metafor-metafor yang melingkar, yang seakan tidak berhubungan satu
sama lain.
Faruk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar