bahasa ungkap Alfiyan tidak berbelit, pernyataan dan kenyataan yang dibangunnya disodorkan langsung secara telak dan meyakinkan, tidak ada prosedur bahasa yang menggandakan rima dan irama, apalagi bermain ayunan metafora berlama-lama, berumit-rumit, tapi bukan berarti tidak puitik. Dengan cara itu ia justru sangat puitik, hanya saja puitikanya sangat berbeda dengan kebanyakan penyair muda sekarang yang bertaruh pada lenggang-lenggok metafor dan irama yang kenes menggemaskan, jika bukan menjengkelkan. Puitika Alfiyan tidak tergantung pada “lemak bahasa”, melainkan pada “darah-daging bahasa
Oleh:
Raudal Tanjung Banua
Dunia
kepenyairan memiliki pemaknaan yang kompleks akan mati, dengan segala
ambiguitasnya yang tak terperi. Meski dalam kehidupannya yang riil
penyair adalah “juga manusia” yang memperjuangkan hidup lebih
baik, sehat walafiat, bahagia dan berumur panjang, namun dalam
sosoknya yang “eksotik” seorang penyair boleh jadi dekat dengan
kematian; digulung insomnia dalam malam-malam panjang, ditemani kopi
dan asap rokok yang menari, berjalan ke lorong-lorong pengab, diintai
senjata dan mata-mata, diganyang tuak, batuk dan sedikit lagi kutuk:
TBC, sipilis-raja singa. Itu semua telah menempatkan sosok penyair
dekat dengan tubir kematian, tentu saja. Tapi tidak. Penyair menolak
untuk mati, dan jika pun hukum alam dan sunatullah akhirnya
membantarkannya ke kematian, itu hanya setingkat jalan yang ia lalui
di alam fana—sebagaimana yang lain—sedang jiwa, ruh, nama dan
karya-karyanya senantiasa hidup, tetap hidup, seakan abadi,
selama-lamanya.
Chairil
Anwar sudah lama tiada, tapi nama dan karyanya semakin meng-ada. Ia
memang telah menyatakan ingin hidup seribu tahun lagi, meskipun dunia
yang fana ini hanya memberi waktu tayang paling lama sekitar seratus
tahun saja. Sungguh pun demikian, “seribu tahun” Chairil bukan
mengada-ada, dan ia telah membuktikannya. Benarlah yang ditulis
Subagio Sastrowardoyo dalam sebuah puisinya bahwa kematian hanyalah
selaput gagasan yang gampang diseberangi.
Emha
Ainun Nadjib juga punya keyakinan yang sama. Bagi dia, penyair dan
puisi tak bisa mati. Tidak jelas benar apa alasan Emha berkeyakinan
demikian, namun saya duga ia percaya pada kegaiban (bukan keajaiban).
Katanya,”Segala sesuatu yang tidak atau belum kita pahami atau
belum kita capai adalah kegaiban. Upaya menjangkau ketidaktahuan
selalu menghasilkan halusinasi, pencitraan atau mitologisasi. Daya
intelektual terbentur di tembok ketidaktahuan. [penyair] adalah
seseosok bayangan yang coba saya tembus dan saya kitari berbekal
ketidaktahuan, untuk menghasilkan ketidaktahuan.” (Dunia
Semata Wayang,
YUI, 1996: vi). Betapapun mungkin ungkapan tersebut dianggap
intuitif, tapi cukup berhasil merepresentasikan situasi dunia
kepenyairan yang berlapis. Ambigusitas yang tak habis.
Bahkan,
jika para aulia dan para wali boleh disejajarkan dengan
penyair—setidaknya dalam dakwah kultural—maka tidak berlebihan
Abdurahman Wahid (Gus Dur) gemar berziarah kubur, sebab punya
keyakinan bahwa orang suci yang mati sesungguhnya tidak mati, ia bisa
mendatangkan kharomah bagi orang lain. Bukankah juga demikian
dinyatakan dalam kitab suci dan hadist Rasul? Itu pula yang terjadi
dalam adat-istiadat di Loloan, sebuah kampung muslim diaspora di
Jembrana, Bali Barat, di mana mereka memilki tradisi “berziarah”
kepada para tetua, terutama dilakukan oleh pasangan pengantin baru.
“Berziarah” bukan ke kuburan atau kepada mereka yang mati,
melainkan kepada para tetua yang masih hidup di rumah-rumah panggung.
Demikian soal mati dan tidak mati dalam tradisi, kultural dan relegi.
Kematian
di dalam sastra, lebih lanjut, dapat kita telusuri dalam cerpen Ben
Okri, “Doa dari yang Hidup” (terj. Sapardi Djoko Damono, Kalam,
1999). Cerpen ini mengangkat kisah tentang orang-orang yang sudah
mati mendoakan orang yang hidup. Sebab dalam kenyataannya, mereka
yang mati karena perang dan kelaparan tampak lebih bahagia dari pada
mereka yang hidup—yang bertahan di tengah penderitaan. Atau dalam
kalimatnya yang menggetarkan, Ben Okri bilang,”Satu-satunya yang
tidak mati adalah semua yang mati.” Tak kalah menggetarkan adalah
kalimat Oka Rusmini dalam permulaan novel Tarian
Bumi,”Kematianlah
yang menghidupkan cerita ini.”
Di
dalam dunia kritik, kita mengenal istilah “Pengarang sudah mati”
dari Roland Barthes yang kemudian dimaknai dalam berbagai versi oleh
para pelaku literatur di negeri ini. Beberapa tentu saja salah
kaprah. Namun yang jelas, kematian versi Barthes pun memanggul
ambigiusitasnya sendiri; pengarang mati, tapi teksnya justru hidup
berbiak dalam interpretasi dan kuasa tafsir yang kian luas; dan untuk
itulah pengarang (harus) mati.
Kematian
di tangan penyair, dengan segala versi dan variasinya, hanyalah salah
satu tema atau pintu masuk untuk menyelami ambigusitas di dalam
puisi. Tema lain tentu saja memiliki ambigusitasnya pula, terlebih
jika ia berada di dalam puisi, di tangan penyair, yang memang sejak
awal dibangun oleh ambigusitas tak terbatas. Tapi memang harus
diakui, kematian memiliki ambigusitas yang lebih menggetarkan,
beroleh minat yang luas—sebagaimana kita singgung agak panjang
lebar di atas—sehingga jika ia jatuh di tangan penyair yang tepat
maka kita akan mendapat makna yang berlipat.
Demikianlah,
seolah melengkapi panaroma dan pandangan kematian dengan segala
ambigusitasnya, Alfiyan Harfi muncul dengan buku puisi perdananya,
Untuk
Yang Mati dan Yang Tak Bisa Mati (2012).
Dari
judulnya saja, kita sudah dapat mengendus aroma ambigusitas yang
dihembuskan, dan memang itulah tampaknya yang hendak diusung oleh
Alfiyan. Akan tetapi sebelum lebih lanjut, saya ingin menambahkan
sebuah modus lain untuk memahami penyair ini, yakni dari sisi
eleganitas. Ya, bahasa ungkap Alfiyan tidak berbelit, pernyataan dan
kenyataan yang dibangunnya disodorkan langsung secara telak dan
meyakinkan, tidak ada prosedur bahasa yang menggandakan rima dan
irama, apalagi bermain ayunan metafora berlama-lama, berumit-rumit,
tapi bukan berarti tidak puitik. Dengan cara itu ia justru sangat
puitik, hanya saja puitikanya sangat berbeda dengan kebanyakan
penyair muda sekarang yang bertaruh pada lenggang-lenggok metafor dan
irama yang kenes menggemaskan, jika bukan menjengkelkan. Puitika
Alfiyan tidak tergantung pada “lemak bahasa”, melainkan pada
“darah-daging bahasa”.
Di
tengah eforia munculnya sajak-sajak yang mengandalkan “lagu”,
Alfiyan tampak bersiteguh hati untuk tak jauh-jauh dari kelugasan
Chairil Anwar (kecuali dalam sajak “Di Bawah Nama Duka” I-IV);
dan dalam konteks kekinian—untuk menunjukkan bahwa ia bukan sosok
ahistoris—kita bisa merujuk gaya ungkap dimaksud semisal kepada
Faisal Kamandobat dalam Alangkah
Tolol Patung Ini (2007).
Meski dalam kelugasan sajaknya terkadang kita seperti merasakan
sedang membaca sajak terjemahan, dan di bagian lain kalimatnya kadang
kurang terkontrol, tapi selalu terasa ada orisinalitas-khas Alfiyan,
dan itu sangat menyenangkan. Alangkah nikmat mendapati ungkapan
begini rupa: “Aku
ingin mengenal bagaimana/Matamu menutup dan menyimpan/mimpi yang
kecuali aku/tak seorang pun tahu./” Perhatikan
ungkapan “mimpi yang kecuali aku,” yang lahir berkat teknik
pemenggalan, sangat menarik dan mengejutkan. Atau pertanyaan dramatik
ini, “adakah
yang menakjubkan/dan lebih menakjubkan/serupa wajahmu, maut?/”
Ungkapan
atau kejutan-kejutan seperti ini—dan itu ada di banyak bait—memberi
sugesti yang kuat di tengah eleganitas, jika bukan di tangan penyair
yang tepat, niscaya bisa jadi “garing”. Dan Alfiyan saya kira
tepat berada di tengah situasi itu; terbuka, berterus-terang, tapi
tidak kehilangan minat atas misteri keheningan.
Boleh
jadi pula ada yang berpendapat bahwa eleganitas dapat mengurangi
kadar ambigusitas. Bukankah ungkapan yang lugas dan terbuka cenderung
tidak memancing apa-apa yang ada di sebalik bahasa, setidaknya
mengurangi minat dan greget untuk menggali lapis makna? Namun saya
bisa menyatakan sebaliknya, bahwa ungkapan yang elegan justru
lebih mengena sebab ibarat mengail ikan, umpan kita tidak terlanjur
habis oleh riak-riak arus, melainkan langsung menuju pusaran.
Ambigusitas puisi menurut saya, bukanlah semata perihal “permainan”
bahasa, namun juga “kekuatan” bahasa.
***
Untuk
Yang Mati dan Yang Tak Bisa Mati. Alih-alih
tidak setara—antara yang fana dan abadi—pemaknaan kedua ungkapan
ini bagai pedang bermata dua: Pertama, jika kita memaknai mati secara
wadag, maka boleh jadi “yang mati” adalah sesuatu yang hilang,
pergi, jika tidak lenyap, sebagaimana pemaknaan konvensional kita
selama ini. Namun, kedua, jika kita memaknai secara simbolik bahwa
“yang mati” sesungguhnya tidak benar-benar mati, maka “yang tak
bisa mati” justru menghadapi sakratul-mautnya sendiri, bersitahan
di dunia ini, dengan segala sakit dan deritanya, susah-payah untuk
tidak mati, alih-alih “syahid”.
Supaya
tidak berbelit dalam konteks ini, saya melihat ada kesejajaran makna
yang singkron bagi takdir puisi (dan juga penyair) untuk tidak mati.
Namun, dengan kecerdasan dan kelincahannya, Alfiyan mencoba
menyamarkan kedua ini, membaurkannya, sehingga tantangan kita sebagai
pembaca adalah menjernihkan segala yang samar dalam paham penerimaan
atas ambigusitas yang disodorkan. Strategi puitik Alfiyan ini saya
rasa sangatlah aktual, cara untuk bertahan atau sekedar berkelit dari
dunia yang penuh labirin dan simulakra, sehingga antara yang hidup
dan yang mati sekali waktu bertemu dalam simpul yang tak terduga.
Simak puisi “Peniup Seruling” berikut—dari bait mana judul buku
ini dipetik:
setiap
kali kuraba dadamu
luka-luka
itu terlindungi
oleh
letakan tangan juga jiwaku
setiap
kali kita berciuman
jiwa
kita yang rapuh
bertemu
dalam lagu yang sedih
bersamamu
serulingku
aku
akan terus bernyanyi
akan
terus bernyanyi
sampai
angin mencatat notasinya
lalu
di suatu tempat suatu waktu
akan
ia nyanyikan, duka kita
untuk
yang mati
dan
yang tak bisa mati
Penyamaran
antara aku dan kau, antara seruling dan yang memainkan seruling,
bukannya membuat objek-subjek mengabur, justru membaur, sebab Alfiyan
tahu benar cara menyatukannya pada saat yang tepat dan menjauhkan
lagi pada saat yang lain. Setiap kali dada “seruling jelita”
teraba oleh si aku, luka-luka terlindungi sebagai sesuatu yang dekat,
bahkan setiap kali mereka berciuman; namun terasa sedikit menjauh
sebab mereka “bertemu dalam lagu yang sedih”, bukan saja
menyiratkan kerapuhan, juga jarak. Namun, bersama seruling si aku
terus bernyanyi, sampai di suatu tempat dan suatu waktu ia nyanyikan
duka—duka kita—untuk yang mati dan yang tak bisa mati. Ada ode
untuk yang mati dan yang tak bisa mati dalam semacam lagu duka, tapi
boleh jadi ode itu ditujukan untuk mereka sendiri, sepasang pecinta
“yang mati” dan “tak bisa mati”. Siapakah “yang tak mati”
dan siapakah yang “tak bisa mati”? Peniup serulingkah, atau
justru serulingnya? Dan di mana posisi mereka? Dalam pengertian yang
luas, penyairkah “yang mati”, sementara serulingnya (karyanya)
“tak bisa mati”, atau sebaliknya?
Di
sinilah Alfiyan memberi ruang interpretasi bagi pembaca. Tentu
setelah ia menuntaskan tugas puitiknya, sekalipun dalam sebuah sajak
pendek seperti dikutip di atas. Namun, cara ia membangun posisi biner
antara subjek dan objek terasa unik, tidak saja membaur sekaligus
tarik-menarik, melainkan juga soal penyandang status yang bisa
berganti tempat; antara keberuntungan dan kemalangan, antara
keabadian dan kefanaan. Peralihan status tersebut sepenuhnya berada
di pihak pembaca, berdasarkan cara pandang, wawasan puitik atau
keyakinan masing-masing. Antara mereka yang konvensional dan mereka
yang simbolik, misalnya, akan memberi status berbeda, namun boleh
jadi bertemu pada simpul yang sama. Itulah sebabnya, untuk kedua
status tersebut yang dipersembahkan sama-sama nyanyian duka—duka
kita.
Amsal
peniup seruling sangat kuat sebagai perlambang persentuhan manusia
dengan hidup dan kematian. Lobang-lobang seruling dekat di ujung jari
si peniup, namun seruling tidak akan bersuara “merdu” membawa
nyanyian duka kita jika selamanya setiap lobang ditutup atau dibuka.
Lobang-lobang itu harus dibuka-tutup dengan ujung jemari yang lincah,
mengikuti udara yang berhembus dari nafas sang hidup. Nada tercipta
dari peristiwa menutup-membuka, mendekat-menjauh, antara lobang dan
jemari. Semuanya membaur (bukan mengabur), tak tahu lagi siapa
memainkan siapa, dan itu memang jadi tak penting agaknya.
Penyamaran
Alfiyan selanjutnya—demi ambigusitas yang mencerahkan—adalah
dengan cara mempertemukan kenyataan yang saling bertolak-belakang.
Namun ajaibnya, dengan bahasa ungkap yang elegan, kenyataan itu tidak
bertubrukan secara fatal, melainkan memberi aksentuasi yang khas pada
ambigusitas. Si aku, misalnya, justru melihat sungai mengalir di
balik yang tersembunyi, sehingga wajah dan mata kekasih ia lihat
serupa cermin yang murni, serupa keabadian yang jatuh ke dalam waktu
(“Kepada yang Tersembunyi”); adakah waktu yang abadi, dan adakah
keabadian identik dengan waktu? Entah. Engkau adalah masa lalu
(namun) juga masa depan; aku (harus) pergi, tapi (mesti) melewatimu
(“Kepada Setiap Mawar”). Siapakah sesungguhnya yang akan
bertahan, menyerah, meninggalkan atau ditinggalkan? Kita tak tahu.
Sebab bahkan beberapa menit yang indah—atau satu detik—di tangan
Alfiyan (alangkah) luas dan abadi; menawarkan
kemungkinan-kemungkinan.
Salah
satu kemungkinan itu: “tak
ada yang membenci atau mencintai/karena di atas jasadku yang
kelabu,/mereka taruh setiap cinta dan kebencian./dan ketika aku
dikuburkan/semua menjelma abu//” (“Untuk
Diucapkan Sebelum Tidur”). Antara cinta dan kebencian saling
tarik-ulur, yang dikubur tidak hilang, sekurangnya ia menjelma abu
yang menyuburkan (menghidupkan) tunas-tunas baru. Puncak dari
penyamaran yang bertolak-belakang ini terlihat dalam sajak “Musafir
Senjakala” di mana “yang bertolak-belakang” merupakan
satu-kesatuan, penuh, utuh, menyeret kita pada tema besar yang
diusungnya.
kau
perempuan yang bukan perempuan
manusia
yang bukan manusia
hidup
di sini, namun tidak di dunia ini
kau
melintasi hidupku,
namun
waktu tak dapat menangkapmu
kau
tiada di sini, di sana dan di manapun.
namun
di sini, di sana dan di manapun
aku
melihatmu menatapku
dengan
mata sebening udara;
menjamah
jasad letihku
seperti
matahari
dengan
jemari yang dingin
senja
mengantarku pada makammu,
aku
bertanya mengapa kau tinggalkan aku
hingga
kini aku pun tak mengerti
mengapa
aku masih hidup di sini
Di
dalam sajak yang lain, ia berada di posisi liner dengan subjek/objek
yang hendak dirangkulnya. Pola ini mengurangi motif penyamaran, namun
menariknya, tiap kali ia mencoba berdiri sejajar justru terasa
kejar-mengejar antar subjek/objek kian kencang, mengasyikkan, kadang
melelahkan, sehingga ambigusitas seolah tak berbatas. Dalam “Ode
bagi yang Tak Dikenal” misalnya, dinyatakan: “Aku
ingin mengenalmu kian dekat/Hingga aku mengenalmu/Layaknya aku
mengenal diriku sendiri.//” begitu
seterusnya, kejar-mengejar, timpa-bertimpa.
Dan
selalu ada simpul yang menggetarkan:
Aku
ingin mengenalmu hingga
Aku
mengenal segalanya
Dan
setiap bunga nama yang tumbuh
Mengakar
padaku memancar padamu
Sebaliknya,
dalam sajak “Sepasang Mata”, ganti si aku yang “dikejar” oleh
subjek lain, yakni “kau yang menatap asing padaku”, sehingga si
aku dengan elegan meluruhkan dirinya dalam lineritas:
perhatikan
bayang-bayangmu
tersimpan
di kedalaman mataku
bagai
cahaya menunjuk pusat kegelapan
apa
dan ke mana kau mencari
aku
bersemayam di atas matamu
mengikuti
bagai arah dan waktu
bila
mataku terpejam, kau bersembunyi
menjelma
mata air yang mengalir di tubuhku
sebagai
kehangatan dan cahaya teduh yang abadi
Alih-alih
memungkas ambigusitas, lineritas justru memberi lebih banyak
kemungkinan, tidak saja kejar-mengejar antara pernyataan dan
kenyataan, juga meluasnya spektrum dan pemaknaan sajak. Salah satu
peluangnya adalah terbukanya “plot” sehingga terbangun sajak yang
“bercerita” atau sekurangnya naratif. Pola ini cukup banyak
ditemukan pada sajak-sajak di pertengahan sampai ke akhir buku,
seperti “Bagaimana Mengusir Rayap-rayap dari Meja Kerjaku”,
“Malam Desember”, “Nama”, “Suatu Hari dalam Kenangan
Pengembara” atau “Perjalanan Sutera”. Begitu pula dalam sajak
“Matahari dan Bayang-bayang” ini:
“bila kau lihat matahari di kaki langit/maka aku ada di
belakangmu/sebagai bayang-bayang//dan bila kau lihat
bayang-bayangmu/maka aku adalah matahari/yang menciptanya//”
Berbagai
contoh masih bisa terus didedah dan dicari untuk menunjukkan bahwa
dalam posisi yang bagaimanapun, ambigusitas dan eleganitas menjadi
pertaruhan yang cukup meyakinkan di dalam sajak-sajak Alfiyan Harfi;
dan semua itu terutama menemukan momentum yang tepat di dalam tema
kematian dengan segala potensi dan pesonanya.
Sampai
di sini, mungkin terlalu simplistis menganggap bahwa semua sajak
Alfiyan bicara tentang maut dan keabadian, namun tak dapat dipungkiri
di dalam hampir setiap sajaknya selalu ada soal-soal semacam ini,
baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Ada mawar yang
layu tapi diam-diam melahirkan tunas baru; ranting kemarau yang
menumbuhkan bunga; rayap-rayap memakan segala dalam diri si aku namun
tak menghentikan hasratnya bekerja untuk manusia; ada tatap mata si
kecil yang bahagia (justru) karena (ia) tak menyadari kebebasannya;
dan begitulah seterusnya, dan beginilah akhirnya: “Bila
musim hujan tiba/Dan kita masih muda/Memancarkan gejolak segala/Tak
peduli apa-siapa/Bila jalan tergenang mimpi/Memantulkan
bayang/wajahku dan wajahmu/“Kita mesti hidup selamanya”//”Kesadaran
akan yang fana, memunculkan bayangan pada yang abadi; kesadaran pada
yang kekal menyadarkan pada yang sementara; demikianlah kiranya, Yang
Mati dan Yang Tak Bisa Mati berkisar
di antara kita.*
Raudal
Tanjung Banua,
Koordinator
Komunitas Rumahlebah Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar